Fraktur
cruris sepertiga
distal adalah terputusnya hubungan kontinuitas tulang tibia dan fibula pada daerah sepertiga
bawah tungkai bawah (Apply, 1995).
Ilizarov, Bone lengthening, Bone distraction
osteogenesis atau Callotaxis adalah suatu istilah yang sama dalam program
pemanjangan tulang. Ilizarov dikembangkan pertama kali oleh seorang dari
Siberia Rusia yang bernama Gabriel Abramovich Ilizarov. Ilizarov adalah suatu
alat eksternal fiksasi yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi
pergeseran tulang dan untuk membantu dalam proses pemanjangan tulang (Ismail
Maryanto, 20)
(1)
Menyamakan panjang lengan atau tungkai yang tidak sama,
(2) Menyamakan
dan menumbuhkan daerah tulang yang hilang akibat patah tulang
terbuka yang hilang,
(3)
Membuang tulang yang infeksi dan diisi dengan cara menumbuhkan tulang yang sehat,
(4)
Menambah tinggi badan,
Kontra
indikasi pemasangan Ilizarov :
(1) Open
fraktur dengan soft tissue yang perlu penanganan lanjut yang lebih baik bila dipasang single planar fiksator,
(2)
Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF,
(3) Simple
fraktur (bisa dengan pemasangan plate
and screw nail wire),
(4)
Fraktur pada anak (fresh).
Prosedur
pemutaran Ilizarov :
(1) Pada rod (batang berulir) diameter 8 mm pemutaran penuh satu lingkaran (360°) setara dengan pergerakan 1,2 mm,
(2) Pada
rod 6 mm setara dengan 1 mm,
(3) Proses
pemanjangan tulang dalam sehari maksimal 1 mm dan dibagi dalam beberapa kali siklus pemutaran.
Kekurangan dari system Ilizarov adalah
(1) Waktu operasi lama,
(2)
Perawatan lama perlu kerja sama yang baik dengan pasien,
(3) Nyeri,
(4)
Potensial terjadi gangguan neurovaskuler,
(5)
Penderita harus kontrol secara teratur,
(6) Siap
secara psikologis bagi pemakainya,
(7) Kaku
Sendi. (Ismail Maryanto, 2003).
2. Patologi.
Pada tindakan operasi pemanjangan tulang tibia dengan menggunakan ilizarov maka prosedur pemasangannya, terlebih dahulu akan dilakukan osteotomi atau pemotongan tulang kemudian ditempelkan lagi dan dilakukan fiksasi dengan alat-alat fiksator eksterna (Ismail Maryanto, 2003). Pada tindakan operasi maka akan dilakukan incisi, sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak di bawah kulit maupun pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya odema, nyeri, dan penurunan lingkup gerak sendi. Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh Hanssenkam (1999), bahwa pada dasarnya penyembuhan pada cidera jaringan lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflamation, dan repair.
a. Injury
Pada tahap ini ,jaringan lunak yang disayat
pada proses operasi menyebabkan luka dan perdarahan serta kematian beberapa
jaringan tersebut. Pada ruang incisi akan terjadi perdarahan yang kemudian akan
diikuti penggumpalan. Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leukosit untuk fagositosis jaringan yang mati.
b. Inflamation
.Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda
peradangan seperti bengkak, nyeri, teraba panas, dan kemerah-merahan, dan
kehilangan fungsi. Pada tahap ini karena terjadi kerusakan pada jaringan lunak
akan menstimulus pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat
nyeri seperti histamin dan bradykinin. Bengkak terjadi karena
peimbunan exudat dibawah
kulit. Teraba panas dan kemerah-merahan terjadi karena perubahan vaskuler berupa vasodilatasi pembuluh darah,
sehingga darah banyak terkonsentrasi pada luka tersebut, (Lachmann,1988).
c. Repair
Pada tahap ini penyembuhan terjadi dengan
mengganti jaringan yang rusak atau hilang dengan jaringan subtitusi (jaringan
pengganti). Jaringan subtitusi yang mengganti jaringan asal yang rusak atau
hilang adalah jaringan kolagen (collagen),
sehingga akan timbul fibrosis yang
akhirnya akan berwujud sebagai jaringan parut (cicatrix).
Pada
tindakan operasi, tulang yang mengalami perpatahan akan disambung kembali.
Menurut Apley (1995), secara fisiologis tulang yang mengalami perpatahan
mempunyai kemampuan menyambung. Proses penyambungan tulang dibagi dalam 5 fase,
yaitu :
a. Fase Hematoma
Pada saat terjadi fraktur pembuluh darah
robek dan terbentuk hematoma disekitar
dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat
persediaan darah akan mati.
b. Fase Proliferasi
Setelah fraktur terdapat reaksi radang akut
yang disertai proliferasi sel
dibawah periosteum dan di dalam saluran medula akan tertembus. Sel-sel ini
merupakan awal dari osteoblast, yang
akan melepaskan substansi interseluler.
Jaringan seluler
mengelilingi masing-masing fragmen yang akan menghubungkan tempat fraktur. Hematoma membeku perlahan-lahan
diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang kedalam daerah itu.
c. Fase pembentukan kalus.
Jaringan seluler
berubah menjadi osteoblast dan osteoklast.
Osteoblast melepaskan matrik
interseluler dan polisakarida
yang akan menjadi garam kalsium dan mengendap disitu sehingga terjadi jaringan
kalus. Tulang yang dirangkai (woven
bone) muncul pada kalus. Tulang yang mati di bersihkan.
d. Fase Konsolidasi
Aktivitas osteoklast
berlanjut, tulang yag dirangkai digantikan oleh tulang lamelar dan fraktur dipersatukan
secara kuat.
e. Fase Remodelling
Fraktur
telah dijembatani oleh suatu manset tulang padat. Tulang yang baru berbentuk
sehingga mirip dengan struktur normal.
A. Teknologi Intervensi Fisiot erapi.
Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi
dengan menggunakan gerak tubuh baik secara active
maupun passive
untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan
kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi,
keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner,1996). Teknologi intervensi
Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain :
1. Positioning
Dengan mengelevasikan tungkai yang sakit maka
dengan posisi ini bermanfaat untuk mengurangi oedem.
2. rileks passive movement
Merupakan
gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari
anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif,
oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks passive movement ini
diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek pengurangan
atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak
serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme penurunan nyeri oleh
gerakan rileks passive movement
sebagai berikut : adanya stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif
movement yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari
anggota tubuh pasien akan merangsang muscle spindle dan organ tendo golgi dalam
pengaturan motorik, fungsi dari muscle spindle adalah
(1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot,
(2)
mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot,
sedangkan
fungsi dari organ tedo golgi adalah mendeteksi ketegangan yang bekerja
pada tendo golgi saat otot berkontraksi (Guyton, 1991). Dengan terstimulasinya
muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan rileks passive movement akan
mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi otot, yaitu bahwa ion-ion
calsium secara normal berada dalam ruang reticulum sarcoplasma. Potensial aksi
menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca 2+. Filamen-filamen actin
(garis tipis) menyelip diantara filamen-filamen myosin, dan garis-garis
bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam reticulum
sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan kedaaan otot
yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui
mekanisme-mekanisme sebagai berikut:
(1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan intramuscular yang menekan nociceptor sehingga nociceptor tidak terangsang untuk menimbulkan nyeri,
(2) Dengan
gerakan rileks passive movement yang berulang-ulang maka nociceptor akan beradaptasi terhadap nyeri.
Suatu sifat khusus dari semua reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi sebagian atau sama sekali terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu. Yaitu, bila suatu rangsang sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula reseptor tersebut bereaksi dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian secara progresif makin berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali tidak bereaksi lagi . Hal ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks passive movement agar dapat menstimulasi muscle spindle.
Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu :
(1)
Sebagian adaptasi disebabkan oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu sendiri,
(2)
Sebagian disebabkan oleh penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton, 1991)
(3) Dengan
mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi spasme otot dan iskemi jaringan
sebagai penyebab nyeri.
Spasme otot sering menimbulkan nyeri alasanya mungkin
dua macam, yaitu :
(1) Otot
yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan
mengurangi atau menghentikan sama sekali aliran darah,
(2)
Kontraksi otot meningkatkan kecepatan metabolisme otot tersebut.
Oleh karena itu , spasme otot mungkin menyebabkan iskemi
otot relatif sehingga timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada
iskemik belum diketahui, salah satu penyebab nyeri pada iskemik yang
diasumsikan adalah pengumpulan sejumlah besar asam laktat didalam jaringan,
yang terbentuk sebagai akibat metabolisme anaerobic yang terjadi selama
iskemik, tetapi, mungkin pila zat kimia lain, seperti bradikinin dan
poliopeptida, terbentuk didalam jaringan karena kerusakan sel otot dan bahwa
inilah, bukannya asam laktat yang merangsang ujung saraf nyeri. (Guyton, 1991).
3 PASSIVE JOINT MOBILITY
Gerakan tubuh manusia terjadi pada
persendian. Macam gerakan dan ROM tergantung dari struktur anatomi sendi, juga
posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.
Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat
didalam kapsul sendi akan memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana
synovial membrane tadi akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang
menjamin gerakan sendi tetap licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.
Pada kaki banyak terdapat persendian,
sehingga memungkinkan kaki dapat berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan
dan tampak lentur atau mengeper.
4 ACTIVE EXERCISE
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh
otot-otot anggota tubuh itu sendiri. Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri
dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar
dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti
rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri (Kisner,1996). Mekanisme gerak
yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa perananan muscle spindle
sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya dalam penurunan nyeri
dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan pentingnya system eferen
gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil yang bertugas merangsang
ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral berkontraksi. Orang perlu
menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf motorik ke otot merupakan
serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar jenis A alfa. Bila sinyal
dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain apapun ke motoneuron
gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini menyebabkan serabut
otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang sama.
Tujuan mengkontraksikan serabut muscle
spindle pada saat bersamaan dengan kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada
dua macam :
(1) mencegah muscle spindle menentang
kontraksi otot,
(2) mempertahankan sifat responsif muscle
spindle terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan
perubahan panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan
optimal maka dengan mekanisme adaptasi dan rileksasi akan menimbulkan penurunan
nyeri.(Guyton,1991).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan otot melalui gerakan resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan rangsangan pada cell (AHC)nya. Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor unitnya, otot akan berkontraksi secara kuat bila otot tersebut semakin banyak menerima rangsangan motor unitnya. Karena otot terdiri dari serabut-serabut dengan motor unit yang mensyarafinya, maka kontraksi otot secara keseluruhan tergantung dari jumlah motor unit yang mengaktifir otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit yang besar akan menimbulkan kontraksi otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.(Heri Priatna, 1983).
5. LATIHAN
JALAN
Aspek terpenting pada penderita fraktur
tungkai bawah adalah kemampuan berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah
ambulasi non weight bearing,
dengan menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan
kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash,
1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu
(1) Otot-otot lengan harus kuat,
(2) Harus mempertahankan keseimbangan dalam
posisi berdiri dengan alat bantu,
(3) Bisa berdiri lama minimal 15
menit.(Tidys, 1961).
DAFTAR PUSTAKA
- Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley ( edisi ke7).Widya Medika.
- Chusid, J.G.(1993).Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional (edisi empat).Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
- Gerhardt, j. John and Russe, A. Cotto.(1995). International SFTR Method of Measuring and Recording Joint Motion. Stugart : Hans huber Publiser.
- Hassenkam ,Marie.(1999). Soft Tissue Injuries. In Atkinson Karen, et.all.Physioterapi in Orthopaedic.Philadelpia : F.A davis Company.
- Kisner,Carolyn and Lynn Colby. (1996). Therapeutic Exercise Foundation and Techniques ( third edition). Philadelphia : F.A Davis Company.
- Kumar, et. All. (1992). Basic Pathology (fifth edition). Philadelpia :W. B Saunder Company.
- Lachmann, Sylvia. (1988). Soft Tissue Injuries in Sport. London : Blackwell scientific Publication.
- Mc Rae,Ronald. (1994) . Practical Fracture Treatment ( third edition). Hongkong.
- Norkin,C.Chynthia and D. Joice White. (1995). Measurement of Joint Motion a Guide to Goniometry ( second edition). Philadelphia : F.A Davis Company